Senin, 30 November 2015

Ketika Seseorang di Nilai Hanya dari Penampilan

Diposting oleh Rasmawaty



Beberapahari yang lalu saya berkumpul di rumah om dan tante. Mereka menceritakan sebuah kejadian di sebuah toko. Karena menurutku ini bisa menjadi kisah yang Inspiratif, saya ingin berbagi. So… cekidottt J

Kakek Kumuh

Suatu pagi di sebuah toko meubel,  Para karyawan penjaga toko terlihat sibuk meladeni beberapa pegawai berseragam dinas lengkap dengan atributnya. Si penjaga toko tak henti – hentinya bertanya kepada para pegawai tersebut dengan kata – kata ramah ciri khas para penjual jasa dan barang kebanyakan. Ramah tetapi menyimpan maksud. Ia meladeni mereka dengan penuh penghormatan. “cari apa pak ? Silahkan lihat – lihat !” para pegawai tersebut tidak menggubris pertanyaan atau  lebih tepatnya sapaan penjaga toko. Mereka hanya diam tanpa sepatah kata pun dengan mata yang terus menjelajah sampai ke sudut – sudut toko.
        
       Beberapa saat kemudian seorang kakek memasuki toko meubel tersebut. Ia berjalan setengah bongkok dengan pakaian dan penampilan sedehana, kemeja lusuh tahun 40-an, sarung dengan benang – benangnya yang terurai menjuntai di ujung sarung hampir menyentuh tanah, dan sandal jepit dengan sedikit lumpur kering menempel di jari – jari kakinya yang keriput. Ia memasuki toko tersebut sambil menenteng sebuah kantong kresek.  Ia menghampiri salah satu penjaga toko dan bertanya “ Diang di padada ayu anak ?” ( arti : apakah disini ada cat kayu?) kata kakek tersebut dengan dialek halus khas mandar yang bermukim di pegunungan. “anu inna bassa puang ?” penjaga toko menjawab. Lalu kakek  tersebut memicingkan matanya yang tampak sudah rabun mencari – cari  benda yang ia maksud.

Lalu kemudian tangannya yang renta mulai menunjuk kearah lemari rak kayu yang berisi cat kayu. Lemari tersebut tampak berbeda dengan lemari rak lainnya. 
Yah… lemari tersebut terisi oleh jejeran cat kayu kualitas terrbaik dengan harga yang lumayan mahal. Penjaga toko dengan nada yang enteng berkata “ anu masuli’ di’o puang oo, damo iya di’o”  ( arti : itu jenis yang mahal tuan, jangan yang itu ) kakek itu menimpali “sa apa allinna anak ?” (berapakah harganya ?). Tetapi penjaga toko tidak menghiraukan pertanyaan kakek  tersebut. Ia malah beralih ke sebuah lemari yang berisi cat kayu kualitas standar yang di beli kebanyakan para pelanggan. Ia mengambil salah satu dan memperlihatkannya kepada kakek tersebut  dan berkata “ iyamo di’e puang ee, apa mase-maseppoi tia !” ( yang ini saja tuan, yang ini lebih murah”) si kakek  kemudian menjawab “ apa’ sa apa allinna di’o anu u jollo’ anak oo ?” (berapakah harga barang yang saya tunjuk tadi ?) penjaga toko kembali meyakinkan “ anu masuli di’o puang oo” ( itu barang mahal tuan ). Tetapi si kakek  tetap ngotot mau membeli barang yang ia inginkan. Sehingga terjadilah perdebatan di dalam toko meubel tersebut.

Hingga akhirnya si kakek kemudian mengambil sesuatu dari dalam kantong kresek yang sedari tadi ia tenteng dalam toko. Ternyata yang ia ambil dari dalam kantong kreseknya adalah segepok uang pecahan ratusan ribu. Dengan suaranya yang terdengar serak ia berkata “ sa apa le’ba’ allinna anak ? Indai ganna’ di’e doi’uaa ?” ( seberapa mahalkah harganya ? apakah duit segini tidak cukup ?”) suasana di dalam toko sesaat tenang.  Semua mata yang ada di dalam toko tersebut tertuju pada si kakek dengan kantong kreseknya. Rupanya di dalam kantong kresek tersebut di penuhi ratusan, bahkan ribuan lembar pecahan ratusan ribu.

 Mendengar keributan dari luar, si pemilik toko keluar dari dalm ruangan yang lain di dalam toko. Dengan rasa penasaran ia bertanya kepada salah satu karyawannya “ ada apa? Koq ada  ribut – rebut ?” namun yang menjawab adalah si kakek “ melo’ tau ma’alli padada ayu nak. Simata maua mi tia masuli’i. Tania anu masuli’ ato anu maseppo uitai anak. Tapi anu malolo” (arti: maksud saya ingin membeli cat kayu. Tetapi dia selalu berkata tentang harga. Saya tidak mencari yang mahal atau yang murah. Tapi saya mencari yang bagus”) ia kemudian menimpali “ tappana andai mapia pakeatta na mi entengi mi seiyya. Mau tia di’e ualli sola pa’baluan dini, uelle toi ee” (artinya; mentang – mentang saya berpenampilan seperti ini, mereka menganggapkami dengan enteng dan seolah tak menghargai. Saya bisa membeli semua ini bahkan dengan tokonya sekalian.”).

Dengan perasaan yang sangat malu, si pemilik toko meminta maaf kepada kakek atas apa yang telah di lakukan salah satu pegawainya. Ia kemudian memecat pegawai yang telah meladeni kakek .  Meskipun ia telah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, tetapi si pemilik toko tetap memecatnya sebagai pelajaran bagi karyawan lainnya. SEKIAN J
         
#SEDIKIT……
Usut punya usut, ternyata si kakek adalah seorang petani yang sukses menyekolahkan anak-anaknya samapai ke jenjang master. Anak – anaknya sukses sebagai sebagai dosendi kota besar. Dia adalah orangtua yang tangguh dan tak menyerah kepada kehidupannya. Meskipun beberapa kali sang anak meminta untuk tinggal bersamanya di kota, ia tetap kukuh tidak ingin meninggalkan kampung halamannya. Dengan tubuhnya yang mulai renta, ia masih sanggup mengurus ternak dan lahan pertaniannya.
          Semoga kisah tadi memberi kita pelajaran. Terlebih kepada para Matrealistis. Hihihihihi.. ^_^

“Jangan melihat seseorang dari sepatunya yang mengilap, tapi lihatlah isi kantongnya. Jangan pula menilai seseorang dari penampilannya, tetapi lihatlah apa yang ia miliki. Bisa jadi mereka yang berpenampilan mentereng bak metropolitan sebenarnya tak punya apa – apa. ( Hahahah….. sumpah !!! bukan ini maksudku )
Yang benar,, “hargailah setiap manusia bukan dari jabatan ataupun keturunannya. Sebab dimata Tuhan kita adalah sama”
Thanks for read (^_^)7
         




         



0 komentar on "Ketika Seseorang di Nilai Hanya dari Penampilan"

Posting Komentar

 

Rasmawaty's Personal Notes Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal